Proyek “Menempatkan TIK di Tangan Perempuan dari Kanpur dan ‘Chikan’ Bordir Pekerja Lucknow” telah berhasil mendirikan pusat di masyarakat miskin di area / Kanpur Lucknow. jangkauan yang luas dan kemitraan strategis dengan pemimpin opini setempat telah menarik populasi target dua perempuan – mereka yang terlibat di sektor informal dan mereka yang terlibat dalam produksi “chikan” bordir – termasuk sebagian besar wanita Muslim. Pusat-pusat menyediakan pelatihan di wilayah target keterampilan: keterampilan komputer, keterampilan kerajinan tangan, dan pengetahuan kesehatan
Sejumlah kasus ini membuktikan bahwa perempuan, terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan, perlu memperoleh akses informasi dan komunikasi. Selama ini teknologi informasi dan komunikasi dianggap dapat menciptakan kondisi yang lebih demokratis. Namun akses terhadap teknologi ini ternyata tidak netral, secara budaya masih ada diskriminasi terhadap perempuan. Disamping itu ibu rumah tangga, khususnya dari masyarakat miskin, tidak mempunyai uang untuk menggunakan fasilitas publik seperti internet. Lokasi pusat-pusat informasi juga seringkali berada di tempat yang sulit atau tidak kondusif bagi perempuan untuk mengunjunginya. Multiperan yang diemban kaum perempuan serta tanggung jawab rumah tangga yang cukup berat telah membatasi waktu luang mereka. Disamping itu sangat riskan bagi perempuan jika harus menggunakan fasilitas informasi di malam hari. Hal ini juga yang terjadi pada kegiatan radio komunitas di berbagai daerah di Indonesia. Banyak perempuan yang tidak bisa terlibat karena banyak radio yang beraktifitas malam hari, yaitu setelah warga bekerja di siang hari.
Untuk mengatasi hambatan-hambatan ini, maka seluruh kebijakan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk tujuan-tujuan pembangunan harus mempertimbangkan pentingnya keterlibatan perempuan, dalam hal akses dan memproduksi informasi yang didasarkan pada kebutuhannya. Bayangkan saja, sebenarnya kaum perempuan sangat penting dalam menopang perekonomian sebuah daerah, sehingga sangat fatal jika pemikiran dan pengalaman mereka diabaikan. Selain itu, pendidikan di sekolah sudah seharusnya memberikan bekal pengetahuan dan praktek perihal teknologi informasi dan komunikasi. Ada sebuah kasus menarik mengenai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di sejumlah sekolah di Afrika. Penelitian yang dilakukan oleh organisasi World Links di empat negara Afrika, yaitu Senegal, Mauritania, Uganda dan Ghana, menunjukkan bahwa dibanding murid pria, murid perempuan kurang dapat menikmati fasilitas laboratorium komputer di sekolahnya. Dengan pelayanan “siapa cepat dia yang dapat” maka maka murid perempuan selalu tertinggal. Pasalnya murid perempuan biasanya harus membantu ibunya dahulu dalam mengerjakan kegiatan rumah tangga seperti menyapu, memasak, menjaga adik, dan lain-lain. Mengingat budaya setempat yang membebani kaum perempuan, maka sudah sepatutnya sekolah memberikan sistem lain agar murid perempuan tetap bisa memanfaatkan fasilitas komputer.
Masih panjang perjuangan kaum perempuan untuk berperan aktif di dalam era informasi ini. Persoalan budaya, sumber daya manusia, fasilitas dan kapasitas, merupakan kendala yang secara perlahan harus diatasi. Dan mengapa kita harus mengatasinya? Sebagian orang mungkin menganggap itu bukan sebuah masalah. Tapi ada sebagian orang yang percaya bahwa dunia akan lebih baik jika ada kesetaraan keterlibatan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Anda termasuk yang mana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar