Sabtu, 25 Desember 2010

ANALISA TI DI SEKTOR NEGARA BERKEMBANG

Kesenjangan digital (digital divide) antar negara secara umum terjadi di wilayah asia, yang ditunjukkan dengan tingkat penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang sangat tinggi di belahan Asia Timur tetapi relatif rendah di wilayah asia lainnya, terutama Asia Selatan dan Asia tenggara, kecuali Singapura dan Malaysia. Negara-negara yang tergolong tinggi tingkat penggunaan TIK-nya mempunyai nilai investasi, ekspor, dan pendapatan yang tinggi untuk produk Telekomunikasi dibandingkan negara pengguna TIK yang lebih rendah. Perbedaan tingkat penggunaan TIK tersebut secara umum berhubungan signifikan positif dengan pendapatan per kapita, nilai tambah sektor jasa dan indeks pengembangan manusia, serta berkorelasi negatif dengan nilai tambah sektor pertanian dan angka kemiskinan. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang relatif cepat dewasa ini telah
mempengaruhi perkembangan perekonomian dunia. Pada kurun waktu 1999 sampai 2000,
negara-negara sedang berkembang di wilayah asia pacific, termasuk Indonesia menunjukkan bahwa difusi teknologi informasi berkorelasi positif cukup kuat dengan tingkat pendapatan per kapita (Kim, 2004). Secara luas layanan teknologi informasi tersebut mencakup penggunaan fasilitas berbasis telekomunikasi seperti internet dan teknologi bergerak (mobile technology), (2) layanan telokomunikasi bernilai tambah seperti komunikasi melalui komputer pribadi dan layanan data, (3) layanan siaran seperti TV, radio, dan satellite broadcasting.

Kondisi teknologi informasi di Indonesia relatif tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Ketertinggalan teknologi itu sendiri bisa dilihat dari ketersediaan infrastruktur teknologi informasi, jumlah komputer yang dimiliki perusahaan, atau akses internet. World Bank melaporkan profil pamanfaatan information and communication technology (ICT) di Indonesia, yaitu rasio jumlah komputer 9.9 per 1000 penduduk, sambungan telpon 91 per 1000 penduduk, jumlah internet host 0.8 per 10 000 penduduk dengan pengguna internet sebanyak 2 juta orang (Anonim, 2002). Investasi dibindang ICT tercatat sebesar US$ 3,54 Milyar atau 2.2 persen terhadap PDB dengan ICT per kapita sebesar US$ 16.6. Jika menggunakan indeks pengembangan ICT yang dikembangkan oleh UNCTAD-PBB (2003), Indonesia menduduki ututan ke 77 dari 171 negara. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia masih dibawah Singapura yang menempati urutan 14, Brunei urutan ke-40, Malaysia urutan ke-43, dan Filipina urutan ke-59; tetapi masih lebih tinggi dibandingkan Thailand pada urutan ke-92 dan Vietnam urutan ke-113.

Apakah ketertinggalan penggunaan teknologi informasi tersebut berhubungan dengan
ketertinggalan pertumbuhan ekonomi dan aspek sosioekonomi lainnya? Apakahpenggunaan
teknologi informasi selalu menjadi jaminan peningkatan produktifitas dan kinerja, baik pada skala ekonomi makro maupun ekonomi mikro. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan penelitian (research question) yang banyak dikaji pada berbagai penelitian. Makalah ini akan dititik beratkan pada hubungan antara teknologi informasi dan komunikasi dengan beberapa variabel yaitu pendapatan per kapita, angka kemiskinan, nilai tambah sektor industri dan jasa, serta indeks pengembangan sumber daya manusia. Makalah ini merupakan hasil penelitian yang mengkombinasikan antara kajian meta-analysis dan analisis deskriptif mengenai pengaruh teknologi informasi pada tingkat ekonomi makro pada sejumlah negara di Asia. Datanya berupa berbagai indikator ekonomi makro dan teknologi informasi dan komunikasi yang dipublikasikan oleh beberapa lembaga international seperti Asian Development Bank, Worldbank, UNCTAD-PBB, dan International Telecommunication Union (ITU).

PERBEDAAN TIK DAN EKONOMI TRANSISI

Adam Smith sering disebut sebagai yang pertama mengembangkan ilmu ekonomi pada abad 18 sebagai satu cabang tersendiri dalam ilmu pengetahuan. Melalui karya besarnya Wealth of Nations, Smith mencoba mencari tahu sejarah perkembangan negara-negara di Eropa. Sebagai seorang ekonom, Smith tidak melupakan akar moralitasnya terutama yang tertuang dalam The Theory of Moral Sentiments. Perkembangan sejarah pemikiran ekonomi kemudian berlanjut dengan menghasilkan tokoh-tokoh seperti Alfred Marshall, J.M. Keynes, Karl Marx, hingga peraih hadiah Nobel bidang Ekonomi tahun 2006, Edmund Phelps.

Secara garis besar, perkembangan aliran pemikiran dalam ilmu ekonomi diawali oleh apa yang disebut sebagai aliran klasik. Aliran yang terutama dipelopori oleh Adam Smith ini menekankan adanya invisible hand dalam mengatur pembagian sumber daya, dan oleh karenanya peran pemerintah menjadi sangat dibatasi karena akan mengganggu proses ini. Konsep invisble hand ini kemudian direpresentasikan sebagai mekanisme pasar melalui harga sebagai instrumen utamanya.

Aliran klasik mengalami kegagalannya setelah terjadi Depresi Besar tahun 1930-an yang menunjukkan bahwa pasar tidak mampu bereaksi terhadap gejolak di pasar saham. Sebagai penanding aliran klasik, Keynes mengajukan teori dalam bukunya General Theory of Employment, Interest, and Money yang menyatakan bahwa pasar tidak selalu mampu menciptakan keseimbangan, dan karena itu intervensi pemerintah harus dilakukan agar distribusi sumber daya mencapai sasarannya. Dua aliran ini kemudian saling "bertarung" dalam dunia ilmu ekonomi dan menghasilkan banyak varian dari keduanya seperti: new classical, neo klasik, new keynesian, monetarist, dan lain sebagainya.

Namun perkembangan dalam pemikiran ini juga berkembang ke arah lain, seperti teori pertentangan kelas dari Karl Marx dan Friedrich Engels, serta aliran institusional yang pertama dikembangkan oleh Thorstein Veblen dkk dan kemudian oleh peraih nobel Douglass C. North.

Bahwa perubahan perkembaangan teknologi informasi dan komunikasi (information and
communication technology(ICT)) berpengaruh pada seluruh aspek dan pengaruh dalam
kehidupan sangatlah besar hampir seluruh aspek kehidupan sekarang mengunakan teknologi informasi dan komunikasi dan bidang ekonomi pun mengunakan teknologi informasi komunikasi seperti mesin atm, kasir di supermarket dan lain-lain. sehingga kita harus mempelajari seluruh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi supaya kita tidak ketinggalan perubahan jaman

PEREMPUAN DAN TIK DI KANPUR DAN CHIKAN

Proyek “Menempatkan TIK di Tangan Perempuan dari Kanpur dan ‘Chikan’ Bordir Pekerja Lucknow” telah berhasil mendirikan pusat di masyarakat miskin di area / Kanpur Lucknow. jangkauan yang luas dan kemitraan strategis dengan pemimpin opini setempat telah menarik populasi target dua perempuan – mereka yang terlibat di sektor informal dan mereka yang terlibat dalam produksi “chikan” bordir – termasuk sebagian besar wanita Muslim. Pusat-pusat menyediakan pelatihan di wilayah target keterampilan: keterampilan komputer, keterampilan kerajinan tangan, dan pengetahuan kesehatan

Sejumlah kasus ini membuktikan bahwa perempuan, terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan, perlu memperoleh akses informasi dan komunikasi. Selama ini teknologi informasi dan komunikasi dianggap dapat menciptakan kondisi yang lebih demokratis. Namun akses terhadap teknologi ini ternyata tidak netral, secara budaya masih ada diskriminasi terhadap perempuan. Disamping itu ibu rumah tangga, khususnya dari masyarakat miskin, tidak mempunyai uang untuk menggunakan fasilitas publik seperti internet. Lokasi pusat-pusat informasi juga seringkali berada di tempat yang sulit atau tidak kondusif bagi perempuan untuk mengunjunginya. Multiperan yang diemban kaum perempuan serta tanggung jawab rumah tangga yang cukup berat telah membatasi waktu luang mereka. Disamping itu sangat riskan bagi perempuan jika harus menggunakan fasilitas informasi di malam hari. Hal ini juga yang terjadi pada kegiatan radio komunitas di berbagai daerah di Indonesia. Banyak perempuan yang tidak bisa terlibat karena banyak radio yang beraktifitas malam hari, yaitu setelah warga bekerja di siang hari.

Untuk mengatasi hambatan-hambatan ini, maka seluruh kebijakan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk tujuan-tujuan pembangunan harus mempertimbangkan pentingnya keterlibatan perempuan, dalam hal akses dan memproduksi informasi yang didasarkan pada kebutuhannya. Bayangkan saja, sebenarnya kaum perempuan sangat penting dalam menopang perekonomian sebuah daerah, sehingga sangat fatal jika pemikiran dan pengalaman mereka diabaikan. Selain itu, pendidikan di sekolah sudah seharusnya memberikan bekal pengetahuan dan praktek perihal teknologi informasi dan komunikasi. Ada sebuah kasus menarik mengenai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di sejumlah sekolah di Afrika. Penelitian yang dilakukan oleh organisasi World Links di empat negara Afrika, yaitu Senegal, Mauritania, Uganda dan Ghana, menunjukkan bahwa dibanding murid pria, murid perempuan kurang dapat menikmati fasilitas laboratorium komputer di sekolahnya. Dengan pelayanan “siapa cepat dia yang dapat” maka maka murid perempuan selalu tertinggal. Pasalnya murid perempuan biasanya harus membantu ibunya dahulu dalam mengerjakan kegiatan rumah tangga seperti menyapu, memasak, menjaga adik, dan lain-lain. Mengingat budaya setempat yang membebani kaum perempuan, maka sudah sepatutnya sekolah memberikan sistem lain agar murid perempuan tetap bisa memanfaatkan fasilitas komputer.
Masih panjang perjuangan kaum perempuan untuk berperan aktif di dalam era informasi ini. Persoalan budaya, sumber daya manusia, fasilitas dan kapasitas, merupakan kendala yang secara perlahan harus diatasi. Dan mengapa kita harus mengatasinya? Sebagian orang mungkin menganggap itu bukan sebuah masalah. Tapi ada sebagian orang yang percaya bahwa dunia akan lebih baik jika ada kesetaraan keterlibatan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Anda termasuk yang mana?